MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF


BAB I
PPENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.

Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal. Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Pembelajaran model kolaboratif dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF”
B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian model pembelajaran kolaboratif ?
2.    Bagaimanakah model pembelajaran kolaboratif teknik STAD ?
3.    Bagaimanakah model pembelajaran kolaboratif teknik TGT ?
4.    Bagaimanakah model pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw ?
C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian model pembelajaran kolaboratif
2.    Untuk mengetahui model pembelajaran kolaboratif teknik STAD
3.    Untuk mengetahui model pembelajaran kolaboratif teknik TGT
4.    Untuk mengetahui model pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Model Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Metode kolaboratif dalam pembelajaran lebih menekankan pada pembangunan makna oleh siswa dari proses sosial yang bertumpu pada konteks belajar. Metode kolaboratif ini lebih jauh dan mendalam dibandingkan hanya sekadar kooperatif. Dasar dari metode kolaboratif adalah teori interaksional yang memandang belajar sebagai suatu proses membangun makna melalui interaksi sosial.
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu:
(1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata;
(2)menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education”. Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing;
(2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik;
(3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap;
(4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting;
 (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):
a.         Belajar itu aktif dan konstruktif:
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.
b.        Belajar itu bergantung konteks:
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
c.         Siswa itu beraneka latar belakang:
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang, gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
d.        Belajar itu bersifat sosial:
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun makna yang diterima bersama.
Menurut teori interaksional dari Vygotsky, proses interaksi itu berlangsung dalam dua tahap, yaitu interaksi sosial dan internalisasi (Voigt, 1996). Kemudian, teori interaksional dengan pendekatan interaksionisme simbolik menjelaskan proses membangun makna dengan menekankan proses pemaknaan dalam diri pelaku. Masing-masing pelaku interaksi sosial mengalami proses pemaknaan pribadi, dan dalam interaksi sosial terjadi saling-pengaruh di antara proses-proses pribadi itu, sehingga terbentuk makna yang diterima bersama. Yackel & Cobb (1996) menyebut proses ini sebagai pembentukan makna secara interaktif (interactive constitution of meaning).
Proses pembentukan makna yang diterima bersama melibatkan negosiasi. Negosiasi adalah proses saling penyesuaian diri di antara individu-individu yang berinteraksi sosial. Negosiasi diperlukan karena setiap objek atau kejadian dalam interaksi antar manusia bersifat jamak-makna (plurisemantic). Agar dapat memahami objek atau kejadian, tiap-tiap orang menggunakan pengetahuan latar-belakang masing-masing dan membentuk konteks makna guna menafsirkan objek atau kejadian itu (Voigt, 1996).
Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan (scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al., dalam Confrey, 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat topangan itu.
Proses negosiasi antar siswa dan pemberian topangan jauh lebih banyak terwujud dalam pembelajaran kolaboratif daripada dalam pembelajaran yang berpusat pada penyajian dan penjelasan bahan pelajaran oleh guru. Lingkungan pembelajaran kolaboratif berintikan usaha bersama, baik antar siswa maupun antara siswa dan guru, dalam membangun pemahaman, pemecahan masalah, atau makna, atau dalam menciptakan suatu produk.
Nelson (1999) merinci nilai-nilai pendidikan (pedagogical values) yang menjadi panekanan dalam pembelajaran kolaboratif. Nilai-nilai meliputi:
a.         Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara alamiah di antara para siswa.
b.        Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
c.         Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
d.        Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam proses belajar.
e.         Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah.
f.         Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan bermacam-macam sudut pandang.
g.        Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
h.        Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
i.          Membangun semangat belajar sepanjang hayat.
Lebih jauh, Nelson (1999) mengusulkan lingkungan pembelajaran kolaboratif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.         Melibatkan siswa dalam ajang pertukaran gagasan dan informasi.
b.        Memungkinkan siswa mengeksplorasi gagasan dan mencobakan berbagai pendekatan dalam pengerjaan tugas.
c.         Menata-ulang kurikulum serta menyesuaikan keadaan sekitar dan suasana kelas untuk mendukung kerja kelompok.
d.        Menyediakan cukup waktu, ruang, dan sumber untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar bersama.
e.         Menyediakan sebanyak mungkin proses belajar yang bertolak dari kegiatan pemecahan masalah atau penyelesaian proyek
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
1)        Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri
2)        Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
3)        Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
4)        Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masingmasing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
5)        Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegitan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
6)        Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
7)        Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
8)        Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
B.     Model Pembelajaran Tipe STAD (Student Teams Achievement Division)
1.      Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Student Teams AchievementDivision (STAD) merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor pengembangan dan penghargaan kelompok. Selain itu STAD juga terdiri dari siklus kegiatan pengajaran yang teratur.
2.      Variasi Model STAD
Lima komponen utama pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu:
1)        Penyajian kelas.
2)        Belajar kelompok.
3)        Kuis.
4)        Skor Perkembangan.
5)        Penghargaan kelompok.
Berikut ini uraian selengkapnya dari pembelajaran kooperatif tipe StudentTeams Achievement Division (STAD).
1.        Pengajaran
Tujuan utama dari pengajaran ini adalah guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian kelas. Penyajian tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing dari keseluruhan pelajaran dengan penekanan dalam penyajian materi pelajaran.
a.       Pembukaan
1)        Menyampaikan pada siswa apa yang hendak mereka pelajari dan mengapa hal itu penting. Timbulkan rasa ingin tahu siswa dengan demonstrasi yang menimbulkan teka-teki, masalah kehidupan nyata, atau cara lain.
2)        Guru dapat menyuruh siswa bekerja dalam kelompok untuk menemukan konsep atau merangsang keinginan mereka pada pelajaran tersebut.
3)        Ulangi secara singkat ketrampilan atau informasi yang merupakan syarat mutlak.
b.      Pengembangan
1)        Kembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok.
2)        Pembelajaran kooperatif menekankan, bahwa belajar adalah memahami makna bukan hafalan.
3)        Mengontrol pemahaman siswa sesering mungkin dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.
4)        Memberi penjelasan mengapa jawaban pertanyaan tersebut benar atau salah.
5)        Beralih pada konsep yang lain jika siswa telah memahami pokok masalahnya.
c.       Latihan Terbimbing
1)        Menyuruh semua siswa mengerjakan soal atas pertanyaan yang diberikan.
2)        Memanggil siswa secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan soal. Hal ini bertujuan supaya semua siswa selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin.
3)        Pemberian tugas kelas tidak boleh menyita waktu yang terlalu lama. Sebaiknya siswa mengerjakan satu atau dua masalah (soal) dan langsung diberikan umpan balik.
2.        Belajar Kelompok
Selama belajar kelompok, tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih ketrampilan yang sedang diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka dan teman satu kelompok.
Pada saat pertama kali guru menggunakan pembelajaran kooperatif, guru juga perlu memberikan bantuan dengan cara menjelaskan perintah, mereview konsep atau menjawab pertanyaan.
Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan guru sebagai berikut :
a.       Meminta anggota kelompok memindahkan meja / bangku mereka bersama-sama dan pindah kemeja kelompok.
b.      Memberi waktu lebih kurang 10 menit untuk memilih nama kelompok.
c.       Membagikan lembar kegiatan siswa.
d.      Menyerahkan pada siswa untuk bekerja sama dalam pasangan, bertiga atau satu kelompok utuh, tergantung pada tujuan yang sedang dipelajari. Jika mereka mengerjakan soal, masing-masing siswa harus mengerjakan soal sendiri dan kemudian dicocokkan dengan temannya. Jika salah satu tidak dapat mengerjakan suatu pertanyaan, teman satu kelompok bertanggung jawab menjelaskannya. Jika siswa mengerjakan dengan jawaban pendek, maka mereka lebih sering bertanya dan kemudian antara teman saling bergantian memegang lembar kegiatan dan berusaha menjawab pertanyaan itu.
e.       Menekankan pada siswa bahwa mereka belum selesai belajar sampai mereka yakin teman-teman satu kelompok dapat mencapai nilai sampai 100 pada kuis. Pastikan siswa mengerti bahwa lembar kegiatan tersebut untuk belajar tidak hanya untuk diisi dan diserahkan. Jadi penting bagi siswa mempunyai lembar kegiatan untuk mengecek diri mereka dan teman-teman sekelompok mereka pada saat mereka belajar. Ingatkan siswa jika mereka mempunyai pertanyaan, mereka seharusnya menanyakan teman sekelompoknya sebelum bertanya guru.
f.       Sementara siswa bekerja dalam kelompok, guru berkeliling dalam kelas. Guru sebaiknya memuji kelompok yang semua anggotanya bekerja dengan baik, yang anggotanya duduk dalam kelompoknya untuk mendengarkan bagaimana anggota yang lain bekerja dan sebagainya.
3.        Kuis
Kuis dikerjakan siswa secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok. Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok.
4.        Penghargaan Kelompok
Langkah pertama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu dan memberi sertifikat atau penghargaan kelompok yang lain. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.
C.    Model Pembelajaran Kolaboratif Tipe Teams-Games-Tournaments (TGT)
1.      Pengertian Pembelaajran Tipe TGT
TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok – kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing – masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan  bersama – sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Akhirnya untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam    meja – meja turnamen, dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing – masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Hal ini dapat ditentukan dengan melihat nilai yang mereka peroleh pada saat pre-test. Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor – skor yang diperoleh anggota suatu kelompok, kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu.
Menurut Slavin pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: tahap penyajian kelas (class precentation), belajar dalam kelompok (teams), permainan (geams), pertandingan (tournament), dan perhargaan kelompok ( team recognition). Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki ciri – ciri sebagai  berikut :
1.         Siswa Bekerja Dalam Kelompok – Kelompok Kecil
Siswa ditempatkan dalam kelompok–kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotifasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan.
2.        Games Tournament
Dalam permainan ini setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari kelompoknya. Siswa yang mewakili kelompoknya, masing – masing ditempatkan dalam meja – meja turnamen. Tiap meja turnamen ditempati 5 sampai 6 orang peserta, dan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Dalam setiap meja turnamen diusahakan setiap peserta homogen. Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu permainan dimulai dengan membagikan kartu – kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh  terbalik di atas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca). Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama, setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain. Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditangapi oleh penantang searah jarum jam. Setelah itu pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada pemain yang menjawab benar atau penantang yang pertama kali memberikan jawaban benar.
Jika semua pemain menjawab salah maka kartu dibiarkan saja. Permainan dilanjutkan pada kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan, dimana posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap  peserta dalam satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain, dan penantang. Disini permainan dapat dilakukan berkali – kali dengan syarat bahwa setiap peserta harus mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemain, penantang, dan pembaca soal.
Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban pada peserta lain. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan poin yang diperoleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.
3.        Penghargaan Kelompok
Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rerata skor kelompok. Untuk memilih rerata skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing – masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok. Pemberian penghargaan didasarkan atas rata – rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut. Dimana penentuan poin yang diperoleh oleh masing – masing anggota kelompok didasarkan pada jumlah kartu yang diperoleh seperti ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Perhitungan Poin Permainan Untuk Empat Pemain
Pemain dengan
Poin Bila Jumlah Kartu Yang Diperoleh
Top Scorer
40
High Middle Scorer
30
Low Middle Scorer
20
Low Scorer
10
Tabel 2.2 Perhitungan Poin Permainan Untuk Tiga Pemain
Pemain dengan
Poin Bila Jumlah Kartu Yang Diperoleh
Top scorer
60
Middle scorer
40
Low scorer
20
(Sumber : Slavin, 1995:90)
Dengan keterangan sebagai berikut: Top Scorer (skor tertinggi), High Middle scorer (skor tinggi), Low Middle Scorer (skor rendah), Low Scorer (skor terendah).
Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ada beberapa tahapan yang perlu ditempuh, yaitu :
a.         Mengajar (teach)
Mempersentasekan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.
b.        Belajar Kelompok (team study)
Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras / suku yang berbeda. Setelah guru menginformasikan materi, dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengen menggunakan LKS. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab.
c.         Permainan (game tournament)
Permainan diikuti oleh anggota kelompok dari masing – masing kelompok yang berbeda. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengetahui apakah semua anggota kelompok telah menguasai materi, dimana pertanyaan – pertanyaan yang diberikan berhubungan dengan materi yang telah didiskusikan dalam kegiatan kelompok.
d.        Penghargaan kelompok (team recognition)
Pemberian penghargaan (rewards)berdasarkan pada rerata poin yang diperoleh oleh kelompok dari permainan. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategori rerata poin sebagai berikut.
Tabel 2.3 Kriteria Pengahrgaan Kelompok
Kriteria ( Rerata Kelompok )
Predikat
30 sampai 39
Tim Kurang baik
40 sampai44
Tim Baik
45 sampai 49
Tik Baik Sekali
50 ke atas
Tim Istimewa
(Sumber Slavin, 1995 )
D.    Model Pembelajaran Kolaboratif Tipe  Jigsaw
1.      Pengertian Pembelajaran Jigsaw
Jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s. Model pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada kelompoknya.
Sesuai dengan namanya, teknis penerapan tipe pembelajaran ini maju mundur seperti gergaji. Menurut Arends (1997), langkah-langkah penerapan model pembelajaran Jigsaw dalam matematika, yaitu:
1)   Membentuk kelompok heterogen yang beranggotakan 4 – 6 orang
2)   Masing-masing kelompok mengirimkan satu orang wakil mereka untuk membahas topik, wakil ini disebut dengan kelompok ahli
3)   Kelompok ahli berdiskusi untuk membahas topik yang diberikan dan saling membantu untuk menguasai topik tersebut
4)   Setelah memahami materi, kelompok ahli menyebar dan kembali ke kelompok masing-masing, kemudian menjelaskan materi kepada rekan kelompoknya
5)   Guru memberikan tes individual pada akhir pembelajaran tentang materi yang telah didiskusikan
Kunci pembelajaran ini adalah interpedensi setiap siswa terhadap anggota kelompok untuk memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan tes dengan baik. Bila dibandingkan dengan metode pembelajaran tradisional, model pembelajaran Jigsaw memiliki beberapa kelebihan yaitu:
1)   Mempermudah pekerjaan guru dalam mengajar,karena sudah ada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada rekan-rekannya
2)   Pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat
3)   Metode pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif dalam berbicara dan berpendapat.
Dalam penerapannya sering dijumpai beberapa permasalahan yaitu :
1)       Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi. Untuk mengantisipasi masalah ini guru harus benar-benar memperhatikan jalannya diskusi. Guru harus menekankan agar para anggota kelompok menyimak terlebih dahulu penjelasan dari tenaga ahli. Kemudian baru mengajukan pertanyaan apabila tidak mengerti.
2)       Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berpikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi apabila ditunjuk sebagai tenaga ahli. Untuk mengantisipasi hal ini guru harus memilih tenaga ahli secara tepat, kemudian memonitor kinerja mereka dalam menjelaskan materi, agar materi dapat tersampaikan secara akurat.
3)       Siswa yang cerdas cenderung merasa bosan. Untuk mengantisipasi hal ini guru harus pandai menciptakan suasana kelas yang menggairahkan agar siswa yang cerdas tertantang untuk mengikuti jalannya diskusi.
4)       Siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran.


BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
1.    Pembelajaran kolaboratif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
2.    Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor pengembangan dan penghargaan kelompok.
3.    Pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: tahap penyajian kelas (class precentation), belajar dalam kelompok (teams), permainan (geams), pertandingan (tournament), dan perhargaan kelompok ( team recognition).
4.    Pembelajaran kolaboratif tipe jigsaw merupakan model pembelajarn kolaboratif yang terdiri atas kelompok asal dan kelompok ahli.
B.                 Saran
Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara mengajarnya dan menyadari dampaknya terhadap anak didik. Untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya dalam pembelajaran di sekolah, model pembelajaran kolaboratif perlu lebih sering digunakan karena suasana positif yang timbul akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah / guru. Selain itu, siswa akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Diunggah pada 29 Juli 2012. Model Pembelajaran Jigsaw. Diunduh dari http://gururupa.blogspot.com/model-pembelajaran-jigsaw.html pada 25 September 2012
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.
Anita, Sri. 2009. Teknologi Pembelajaran. Surakarta : UNS
Herdian. Diunggah pada 22 April 2009.  Model Pembelajaran STAD. Diunduh darihttp://herdian.wordpress.com/Model%20Pembelajaran%20STAD%20%28Student%20Teams%20Achievement%20Division%29%20%C2%AB%20Herdian,%20S.Pd.,%20M.Pd.htmpada 25 September 2012.
Starrhina. Model Pembelajaran TGT. Diunduh dari http://starrhina.student.fkip.uns.ac.id/starrhina%20%C2%BB%20Model%20Pembelajaran%20TGT.htmpada 25 September 2012
Suyatno. Diunggah pada 30 Desember 2008. Metode Kolaboratif Untuk Pembelajaran. Diunduh dari http://garduguru.blogspot.com/metode-kolaboratif-untuk-pembelajaran.htmlpada 25 September 2012.

Sumber: http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/model-pembelajaran-kolaboratif.html